Merger Pelita Air–Garuda Indonesia, Efisiensi atau Risiko Baru?

AVIATREN.com – Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara menyatakan rencana penggabungan (merger) maskapai Pelita Air dan Garuda Indonesia bertujuan untuk mengoptimalisasi aset perusahaan milik negara tersebut.

CEO Danantara Rosan Perkasa Roeslani mengatakan pihaknya masih mengkaji penggabungan Pelita Air sebagai anak usaha Pertamina itu dengan lini usaha sejenis melalui Garuda Indonesia.

“Intinya kan untuk supaya lebih efisien, lebih meningkatkan produktivitas, dan juga mengoptimalkan aset-aset yang ada, baik dari segi jam terbangnya, dan part pesawat, dan lain-lain. Lagi dievaluasi semua,” kata Rosan saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, dikutip dari Antara, Selasa (16/9/2025).

Rencana merger antara Pelita Air dan Garuda Indonesia memicu beragam pandangan dari para pengamat penerbangan dan ekonomi.

Mereka menilai penggabungan dua maskapai milik BUMN itu memiliki potensi positif bagi industri penerbangan, namun juga menyimpan sejumlah risiko yang tidak bisa diabaikan.

Pengamat penerbangan Gatot Rahardjo melihat merger ini berpotensi menciptakan pasar yang lebih kompetitif, mengingat industri penerbangan nasional selama ini cenderung didominasi satu pemain besar.

Ilustrasi A320 Pelita Air

Namun, ia mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan skema holding maskapai BUMN, bukan merger penuh.

Dalam konsep holding, masing-masing maskapai tetap memiliki identitas, AOC, dan karakter layanannya sendiri, tetapi berada di bawah satu payung koordinasi untuk efisiensi operasional dan pengelolaan aset.

Di sisi lain, Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menyoroti risiko merger terhadap operasional Pelita Air yang saat ini dinilai lebih stabil.

Ia mengingatkan bahwa penggabungan bisa menyebabkan pengurangan rute penerbangan dan potensi PHK karyawan, terutama karena adanya tumpang tindih layanan dengan Garuda.

Selain itu, Bhima mempertanyakan kesenjangan kondisi keuangan dua maskapai, di mana Garuda masih dalam tahap pemulihan pasca restrukturisasi utang, sementara Pelita relatif lebih sehat.

Pandangan serupa disampaikan Alvin Lie, pengamat penerbangan, yang menolak ide merger total karena bisa menggerus identitas dan segmen pasar masing-masing maskapai.

Menurutnya, Garuda harus tetap di segmen full service, Pelita di segmen medium service, dan Citilink di segmen berbiaya rendah (LCC).

Pesawat B737-800 Garuda Indonesia.

“Kalau semuanya dilebur, konsumen justru bingung dan pasar bisa terganggu,” ujarnya.

Alvin menilai aliansi strategis atau konsolidasi ringan bisa menjadi solusi yang lebih tepat ketimbang merger penuh.

Sementara itu, pengamat Gerry Soejatman mengingatkan bahwa Garuda sebaiknya fokus memulihkan kinerjanya terlebih dahulu sebelum melangkah ke merger.

Ia juga mengingatkan potensi intervensi dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) jika penggabungan ini dianggap mengurangi kompetisi di pasar domestik.

Meski begitu, sebagian pengamat melihat sisi positif merger dalam hal efisiensi biaya pengadaan armada, sinergi rute, hingga pengelolaan SDM dan pemasaran.

Namun, mereka sepakat bahwa skema merger harus dirancang dengan hati-hati agar tidak menimbulkan gangguan layanan maupun kerugian struktural di kemudian hari.

*dari berbagai sumber.