B.J. Habibie

AVIATREN.com – Presiden Ketiga RI, Bacharudin Jusuf Habibie meninggal dunia pada Rabu (10/9) pukul 18.05 WIB, di ruang CICU, RSPAD Jakarta Pusat akibat gagal jantung.

Selain dikenal sebagai mantan Presiden Ketiga RI, sosoknya dikenal juga sebagai Bapak Dirgantara Indonesia.

B.J. Habibie ditunjuk sebagai CEO Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada tahun 1974. Kemudian pada tahun 1978, dirinya memimpin proyek pesawat N250 sebagai pesawat pertama karya anak bangsa.

Dikutip dari laman Tempo, Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia, Elfien Goentoro mengucapkan duka cita atas nama pribadi dan keluarga besar perusahaan atas meninggalnya Presiden Ketiga RI, BJ Habibie.

Julukan Mr. Crack

BJ Habibie pun selama hidupnya dikenal sebagai Mr. Crack. Dalam buku berjudul The True Life of Habibie karya Andi Makmur Makka, ditulis bahwa Habibie mendapat julukan tersebut karena dirinya sebagai orang pertama yang dapat memperlihatkan cara menghitung crack propagation on random hingga ke atom-atomnya.

Lewat temuan “Crack Progression Theory”, para ahli dirgantara mengenal Crack Progression Theory dengan nama Faktor Habibie, Teori Habibie, atau Fungsi Habibie.

Crack Progression Theory dianggap sangat penting dalam dunia dirgantara karena teori ini menjadi solusi dari masalah panjang yang dapat ditimbulkan oleh retaknya bagian sayap dan badan pesawat akibat mengalami guncangan selama take off dan landing.

Tak main-main, Faktor Habibie masih dijadikan pedoman dalam pembuatan pesawat terbang seluruh dunia hingga saat ini.

Penemuan penting tersebut menjadikan Habibie sebagai Wakil Presiden Messerschmitt Boelkow Blohm Gmbh (MBB) pada tahun 1969. MMB merupakan industri pesawat terbang besar di Jerman.

Mengenal Crack Progression Theory

Dilansir berbagai sumber, pada akhir 1940-an dan 1950-an, teknologi pesawat sudah berkembang. Namun, banyak insinyur tidak sepenuhnya memahami mengapa beberapa pesawat mengalami kegagalan struktural katastrofik dalam penerbangan stabil. Pada 1960-an pesawat menjadi lebih cepat dan mesinnya lebih kuat.

Ketika mesin bekerja terlalu keras, material “kelelahan” dan sering menimbulkan masalah kegagalan struktural. Maka para ilmuwan pada 1960-an mulai menganalisis apa yang menyebabkan keretakan komponen pesawat dengan lebih detail dan rinci.

Seperti benda lain, pesawat juga bisa pecah dan retak kapan saja. Bisa dikatakan, setiap material cepat atau lambat pasti akan retak, tapi beberapa material cukup kuat untuk waktu lama.

Karena suatu gaya diterapkan pada suatu material, ia mengalami “kelelahan” dan mungkin menyerah setelah beberapa waktu. Itulah sebabnya pesawat memiliki masa hidup tertentu sebelum dinyatakan tidak aman untuk terbang lagi.

Di sinilah Habibie muda muncul. Pria jenius berawakan kecil dari Indonesia yang mendapatkan gelar doktor di bidang kedirgantaraan dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachen Jerman pada 1965 memperkenalkan crack progession theory.

Sebelum titik crack bisa dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF).

Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoretisnya. Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja.

Namun, setelah titik crack bisa dihitung, derajat SF bisa diturunkan, misalnya dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan.

Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.

Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10 persen dari bobot sebelumnya. Bahkan, angka penurunan ini bisa mencapai 25 persen setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat.

Faktor Habibie juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas.

Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatigue menjadi turun.