AVIATREN.com – Kejaksaan federal AS dikabarkan tengah bersiap menjatuhkan dakwaan pidana terhadap seorang mantan pilot Boeing yang menguji pesawat B737 MAX pada saat pengembangannya, Mark Forkner dalam beberapa minggu ke depan.
Dakwaan tersebut dipicu oleh aksi Forkne yang diduga sempat mengelabui pihak regulator, yaitu Federal Aviation Administration (FAA), terkait adanya masalah pada prosedur keselamatan pesawat B737 MAX ,pada saat masa pengujian beberapa tahun lalu.
Saat ini, kejaksaan federal AS sendiri disebut tengah menyelidiki dan mengumpulkan bukti apakah Forkner memang sengaja berbohong kepada pihak FAA terkait prosedur keselamatan B737 MAX atau tidak.
Dikutip AVIATREN dari Daily Mail, Sabtu (18/9/2021), pengacara Forkner, David Gerger belum memberikan tanggapan terkait kabar tersebut. Yang jelas, ia sempat mengatakan bahwa kliennya tidak akan pernah dengan sengaja menyembunyikan masalah keamanan, terlebih pada pesawat komersil yang hendak dinaiki orang banyak.
“Mark menerbangkan MAX. Teman-temannya di Angkatan Udara juga menerbangkan MAX. Dia tidak akan pernah menempatkan dirinya, teman-temannya, atau penumpang mana pun di pesawat yang tidak aman,” kata Gerger pada 2019 lalu.
Belum diketahui apa hukuman yang akan diterima Forker dari jaksa federal AS tadi.
Namun, apabila kabar di atas benar, maka ini merupakan pertama kalinya kejaksaan federal AS melayangkan tuntutan pidana terhadap seorang individu atau pilot, sebagai “tersangka” atas dua kecelakaan pesawat.
Sekongkol dengan ‘orang dalam‘
Terkait kasus 737 MAX, Boeing sebelumnya mengatakan bahwa ada karyawan atau orang dalam, yang namanya masih misterius, bersekongkol untuk menipu FAA tentang masalah pelatihan MAX, demi menguntungkan diri mereka sendiri dan perusahaan.
Forkner sendiri sempat mengaku bahwa dia mungkin secara tidak sengaja membuat FAA bingung, apabila mengacu pada serangkaian pesan internal dari 2016 lalu yang beberapa bulan lalu terkuak ke publik.
Isi pesan ini lantas menjadi bukti bahwa Boeing memang mengetahui bahwa sebenarnya ada masalah terkait 737 MAX, yang berujung pada denda 2,5 miliar dolar AS (sekitar Rp 35,6 triliun) dan 17 juta dolar AS (sekitar Rp 242 miliar) yang sudah dibayar Boeing beberapa bulan lalu.
Adapun pesan tersebut berisi laporan pengamatan pertama, bahwa Sistem Augmentasi Karakteristik Manuver (MCAS) atau sistem anti-stall ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya pada saat pengujian pesawat.
Kerusakan pada sistem MCAS ini, diperparah dengan kurangnya pelatihan terkait sistem tersebut, disebut sebagai penyebab utama dari dua kecelakaan fatal pada 2018 lalu, yang melibatkan Lion Air 610 dan Ethiopian Airlines 302 dan menelan korban hingga 346 orang.
Setelah dua kecelakaan tersebut, 737 MAX dilarang terbang selama kurang lebih dua tahun lamanya, hingga kembali diizinkan beroperasi oleh FAA pada November 2020.