Kokpit Airbus A320 (Wikimedia)
Kokpit Airbus A320 (Wikimedia)

AVIATREN.com - Peristiwa kecelakaan Germanwings 4U9525 memunculkan kembali perdebatan di tengah pengamat dan pelaku dunia penerbangan, mampukah teknologi mencegah pilot sengaja menjatuhkan pesawat?

Dengan mengandalkan sepenuhnya terhadap teknologi, bisakah kesalahan-kesalahan yang kemungkinan bisa ditimbulkan oleh pilot atau kopilot (manusia) bisa dieliminasi?

Mantan pilot US Airways, Chesley B “Sully” Sullenberger mengatakan pendapatnya tentang hal ini. Menurut dia, pandangan seperti itu sudah jamak atau umum dijumpai di tengah masyarakat yang saat ini akrab dengan teknologi.

Namun, pada saat bersamaan, pandangan seperti itu, menurut Sully, juga membawa anggapan yang salah terhadap pengetahuan dasar tentang apa yang bisa dilakukan pilot dan apa yang bisa dilakukan oleh teknologi dalam suatu penerbangan.

“Kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa sesungguhnya pilotlah yang selalu menerbangkan pesawat,” ujar Kapten Sully seperti dikutip Aviatren dari blog-nya di halaman LinkedIn resminya, Selasa (28/4/2015).

“Pilotlah yang mengambil keputusan terkait penerbangan, seperti memilih jalur dan ketinggian jelajah,” ujar mantan pilot yang lolos dari maut dalam kejadian US Airways dengan nomor penerbangan 1549 yang ditching (mendarat di air) di Sungai Hudson, New York, pada Januari 2009 itu.

Sully berpendapat, walau teknologi berperan dalam membantu mengontrol pesawat, pikiran manusialah yang menentukannya. Teknologi juga terbatas, serta hanya bisa melakukan apa yang telah diprediksi sebelumnya dan diprogram sedemikian rupa agar prediksi seperti itu tidak terjadi.

Dengan demikian, menurut Sully, belum ada yang bisa menggantikan pikiran manusia dalam sebuah penerbangan.

Airbus A320 US Airways Flight 1549 yang ditching di sungai Hudson, New York, 15 Januari 2009

Berkaca dari US Airways 1549

Sully pun mencontohkan kejadian US Airways penerbangan 1549, penerbangan yang memunculkan namanya sebagai salah satu pilot yang berhasil menyelamatkan 155 orang dalam pesawat di sungai setelah kedua mesin mati akibat birdstrike (menabrak burung).

Diceritakan oleh Sully, ia baru melihat sekawanan burung tersebut, 100 detik setelah pesawat tinggal landas dari bandara La Guardia, New York.

“Sekitar dua detik kemudian, kami menabraknya, padahal jaraknya waktu itu masih sekitar dua kali panjang lapangan bola,” ceritanya.

Namun karena pesawat sangat kencang, sekitar 316 kaki per detik (346,74 km per jam), maka tidak cukup waktu atau jarak bagi pesawat Airbus A320 yang diterbangkannya bermanuver menghindari sekawanan burung itu.

Beberapa kawanan burung yang tertabrak saat itu ada yang tersedot ke kedua mesin jet A320 sehingga praktis kedua mesin terbakar dan mati karena kemasukan benda asing.

“Saat itu, saya dan kru hanya memiliki waktu 208 detik untuk melakukan hal yang belum pernah dilatih, dan harus melakukannya dengan benar untuk kali pertama,” kata Sully.

Dari pengalamannya, Sully tahu bahwa di dekatnya ada dua landasan yang tersedia, tetapi menurut dia tidak bisa dijangkau dengan ketinggian dan kecepatan pesawat saat itu, yang perlahan melayang turun (gliding).

“Satu-satunya pilihan adalah sungai,” katanya.

Menurut Sully, keberhasilan US Airways 1549 ditching di Sungai Hudson diperoleh berkat upaya kerja sama tim, kecakapan, pengetahuan yang mendalam, serta penilaian manusia yang berdasar pada pengalaman.

“Hingga kini, saya belum melihat ada teknologi yang bisa mencegah kejadian seperti itu,” kata Sully yang juga merupakan seorang pakar keselamatan udara.

 

Paduan yang pas dan peran yang jelas

Kembali ke kasus Germanwings 4U9525, apakah teknologi juga bisa mencegah jatuhnya pesawat tersebut di Pegunungan Alpen? Menurut Sully, hal itu bisa saja.

Namun, apakah teknologi juga bisa mencegah kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya? Sully berpendapat, hal itu kemungkinan tidak bisa.

Manusia, menurut Sully, juga memiliki batasan. Namun, batasan itu bisa ditutupi dengan membuat tim yang profesional dan mengawaki pesawat. Dengan mengatur beban kerja dan membantu satu sama lain, maka sistem yang dibuat manusia akan lebih sempurna dan semakin bisa diandalkan.

Namun, berbeda dengan teknologi, semakin banyak lapisan sistem yang ditambahkan, maka hal itu semakin memunculkan celah untuk kesalahan. Menurut Sully, otomatisasi tidak semata-mata menghilangkan kemungkinan kesalahan (error), tetapi hanya mengubah sifat alami kesalahan yang dibuat sehingga berkesempatan memunculkan kesalahan baru.

Kesimpulannya, Sully berpendapat bahwa dibutuhkan paduan yang tepat antara teknologi dan manusia.

“Sistem yang memadukan kemampuan terbaik manusia dengan teknologi adalah yang paling aman,” ujar Sully.

Dengan demikian, saat mendesain sebuah sistem, maka aturan dan peran harus dibuat dengan jelas, mencakup apa yang bisa dilakukan manusia dan apa yang akan dilakukan oleh sistem atau teknologi.

“Manusia lebih tepat menjadi pelaku, sementara teknologi memberikan fungsi monitor, memberikan bantuan dalam mengambil keputusan dan menjadi pelindung.”

Walau demikian, menurut Sully, tidak ada cara yang sederhana untuk mencegah berbagai kemungkinan tragedi yang bisa terjadi pada masa mendatang.

“Terbang itu seperti kehidupan, lebih kompleks dari yang kita kira,” pungkasnya.

 

– Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Kompas.com dengan judul “Bisakah Teknologi Cegah Pilot Jatuhkan Pesawat?