Duduk Perkara Pendiri Sriwijaya Air, Hendry Lie Terjerat Kasus Korupsi Timah

AVIATREN.com – Hendry Lie, sosok yang dikenal sebagai pendiri maskapai penerbangan Sriwijaya Air, kini tengah menghadapi kasus hukum terkait dugaan korupsi dalam tata niaga timah.

Hendry Lie didakwa menerima uang senilai Rp 1,06 triliun melalui PT Tinindo Internusa (TIN) dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015—2022.

Dilansir ANTARA, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) Feraldy Abraham Harahap menyebutkan uang tersebut diterima dari pembayaran pembelian bijih timah ilegal melalui kegiatan borongan pengangkutan sisa hasil pengolahan (SHP), sewa smelter, dan harga pokok produksi (HPP) PT Timah.

“Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,” kata JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Lantas bagaimana seorang pendiri maskapai penerbangan bisa terseret kasus korupsi yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah?

Keterlibatan Hendry Lie

Perlu diketahui, Selain berkiprah di industri penerbangan, Hendry juga menjabat sebagai komisaris di PT Tinindo Internusa (TIN), sebuah perusahaan peleburan timah yang bermitra dengan PT Timah.

Peran Hendry dalam kasus ini tidaklah kecil. Ia diduga aktif terlibat dalam penyewaan alat pemrosesan peleburan timah antara PT Timah Tbk dan PT Tinindo Internusa.

Ia memanfaatkan posisinya untuk memperlancar operasional ilegal tersebut. Hendry bahkan membuat sejumlah perusahan fiktif yang digunakan untuk membeli dan menampung bijih timah dari tambang ilegal dari wilayah IUP PT Timah.

Selanjutnya, bijih timah itu dijual kepada PT Timah sebagai tindak lanjut kerja sama sewa peralatan processing antara PT Timah dengan PT Tinindo Internusa.

Hendry bersama-sama rekanannya pun menerima pembayaran bijih timah dari PT Timah, yang diketahuinya bijih timah yang dibayarkan tersebut berasal dari penambang ilegal dari wilayah IUP PT Timah.

Akibat perbuatannya, negara mengalami kerugian hingga Rp 300 triliun, sementara Hendry sendiri diperkirakan mengantongi keuntungan sebesar Rp 1,05 triliun.

Hendry pun disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kejaksaan Agung masih terus mengusut kasus ini untuk menjerat seluruh pihak yang terlibat.

Hendry Lie ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta oleh Kejaksaan Agung pada 18 November 2024.

Sempat kabur ke Singapura

Hendry Lie sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 15 April 2024 lalu. Namun Hendry diketahui berada di Singaprua sejak 25 Maret 2024, usai pemeriksaan pertama kali sebagai saksi.

Hendry Lie beralasan pergi ke Singapura untuk menjalani pengobatan. Namun setelah enam bulan kabur dari Indonesia dan buron di negara tetangga, Hendry akhirnya pulang ke Indonesia, karena masa berlaku paspor Hendry sudah hampir habis.

Hendry Lie dibekuk aparat dari Kejaksaan Agung di Bandara Soekarno-Hatta pada Senin, 18 November 2024 malam. Setelah ditangkap, Hendry ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Hingga saat ini, pihak berwenang masih terus menyelidiki sejauh mana keterlibatan Hendry dalam skema korupsi ini. Kasus ini pun menambah daftar panjang dugaan penyimpangan dalam tata niaga timah di Indonesia, yang kerap dikaitkan dengan praktik ilegal dan kerugian bagi negara.

Dengan latar belakangnya di dunia bisnis penerbangan dan industri timah, keterlibatan Hendry Lie dalam kasus korupsi ini menjadi perhatian publik. Proses hukum yang berjalan akan menentukan nasibnya serta dampak yang mungkin timbul terhadap perusahaan-perusahaan yang pernah ia pimpin.

Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa pengawasan terhadap industri sumber daya alam harus terus diperketat agar tidak disalahgunakan demi keuntungan pribadi yang merugikan kepentingan negara dan masyarakat luas.

Advertisement