AVIATREN.com – Kecelakaan pesawat Air France AF447 di laut Atlantik pada 2009 lalu menyadarkan para pelaku penerbangan, bahwa diperlukan terobosan teknologi baru untuk mendapatkan data kotak hitam secara cepat.
Ditambah lagi dengan kasus menghilangnya pesawat Boeing 777-300 ER Malaysia Airlines penerbangan MH370, serta kasus AirAsia QZ8501 yang pencarian kotak hitamnya juga memakan waktu cukup lama.
Banyak pengamat penerbangan yang berpikir, mengapa di zaman yang serba terhubung ini, butuh waktu lama untuk mencari kotak hitam, padahal teknologi yang ada sat ini sudah memungkinkan untuk melakukan streaming data kotak hitam jika dalam kondisi darurat.
Kotak hitam pesawat yang terdiri atas Cockpit Voice Recorder (CVR) dan Flight Data Recorder (FDR) merekam data-data penting yang biasanya menjadi petunjuk penting dalam penyelidikan kasus kecelakaan pesawat terbang.
Namun, karena didesain tahan banting dan bertahan lama di dalam air, maka kotak hitam juga menjadi susah dicari jika tenggelam di dasar laut.
Sebagai contoh adalah Air France 447 yang butuh waktu dua tahun utnuk menemukan dan mengangkat kotak hitam dari dasar samudera Atlantik.
Walau masing-masing dilengkapi dengan pemancar sinyal darurat, namun baterai pemancar tersebut hanya bertahan selama beberapa hari saja.
Teknologi usang?
Kotak hitam pesawat adalah produk teknologi di tahun 1950-an. Hingga kini, sudah ada beberapa perubahan desain seperti materi penyimpanan data, namun secara keseluruhan, tak banyak desain yang diubah.
Menghilangnya Malaysia Airlines MH370 juga membuat para pakar dan pengamat meragukan kegunaannya.
Pierre Jeanniot, seorang insinyur Kanada yang membantu menyempurnakan teknologi kotak hitam saat masih bekerja di maskapai Air Canada 40 tahun lalu merasa perangkat kotak hitam memang sudah usang.
Jeanniot mulai mempertanyakan keefektifan kotak hitam sudah sejak sepuluh tahun yang lalu, setelah dirinya melihat kondisi pesawat yang digunakan untuk menyerang menara kembar World Trade Center di New York tahun 2001 lalu.
“Kotak hitamnya hancur berkeping-keping,” ujar Jeanniot seperti dikutip KompasTekno dari CBC News. Ia berpikir saat itu, akan lebih efisien untuk mentransmisikan data penerbangan ke stasiun di darat.
“Saya yakin kalau kita bisa mengalirkan informasi melalui satelit, alih-alih harus mencari-cari sebuah kotak di antara puing reruntuhan,” ujar Jeanniot yang kini menjadi anggota badan penasihat Star Navigation Systems Group, firma yang membuat sistem kotak hitam yang bisa di-live streaming-kan.
Selain Star Navigation, FLYHT Aerospace Solutions juga menawarkan solusi yang sama, yang disebut dengan Automated Flight Information Reporting System (AFIRS).
FLYTH mengombinasikan infrastruktur internet dan konstelasi 66 satelit yang dioperasikan oleh perusahaan Iridium Communications yang berbasis di Virginia, Amerika Serikat.
Saat pesawat dalam kondisi yang berbahaya, AFIRS bisa mengirimkan data pesawat ke salah satu satelit milik Iridium dan meneruskannya ke server di darat. Pesan kemudian akan diterjemahkan dan dikirim ke pihak maskapai.
Infrastruktur seperti ini sudah ada sejak tahun 2000, namun nampaknya maskapai baru menaruh perhatian yang serius setelah kecelakaan Air France 447.
“Hilangnya salah satu pesawat tercanggih di angkasa (Airbus A330-300) pada tahun 2009 membuka mata semua orang bahwa perangkat yang dipakai selama ini kurang memadai untuk situasi darurat,” ujar Richard Hayden, Sales Director FLYHT.
Namun Bruce Rodgers, President of Aero Consulting Experts berkata lain. Menurutnya, mentransmisikan data sebuah kotak hitam ke satelit yang kemudian menyimpan atau meneruskannya ke server di darat adalah teknologi yang rumit.
Hingga kini, setiap hari ada sekitar 10.000 pesawat yang terbang setiap harinya, dan setiap dari pesawat itu mengoleksi ribuan data dalam setiap menitnya.
“Banyak sekali data yang harus ditangani,” ujar Rodgers.
“Untuk mentransmisikan dan mengumpulkan semua data itu bisa melumpuhkan satelit-satelit yang ada saat ini, datanya akan sangat besar,” imbuhnya.
Usulan lain yang muncul adalah kotak hitam yang didesain bisa melontar sendiri secara otomatis saat dalam kondisi darurat.
Namun hal itu juga dikritik justru menambah sulit pencarian jika pesawat dan kotak hitam terpisah, terlebih jika kecelakaan terjadi di lautan.
Untuk sementara, ICAO (international civil aviation organization) telah mengeluarkan himbauan yang bersifat sementara agar kejadan MH370 tidak terulang lagi.
Setiap maskapai dihimbau agar mengoleksi data ACARS (Aircraft Communications Addressing and Reporting System) dari semula setiap 15 menit sekali menjadi 5 menit sekali.
Faktor biaya
Walau sudah ada sistem kotak hitam streaming yang telah mendapatkan persetujuan utnuk digunakan oleh maskapai penerbangan, namun faktor biaya tetap menjadi alasan utama mengapa belum banyak yang mengadopsinya.
Bill Norwood, VP of Products and Technology di JDA Aviation Technology Solutions mengatakan bahwa industri penerbangan itu enggan untuk menambah biaya macam-macam.
Industri penerbangan dikatakan Norwood sebagai industri yang memiliki margin laba yang sangat tipis.
Bahkan, menurut majalah The Economist, maskapai memiliki margin keuntungan hanya satu persen saja, dan di tahun 2012 lalu, rata-rata maskapai penerbangan hanya untung 4 dollar AS dari setiap penumpang yang diangkut.
Menurut Norwood, untuk memasang sistem kotak hitam yang bisa di-streaming hanya akan menambah beban biaya maskapai dalam setiap penerbangan.
“Jika menimbang dari segi untung atau tidak untung, maka jika mereka memulai menggunakannya (kotak hitam yang di-streaming), maka penerbangan itu bisa tidak untung,” ujarnya.
Sebagai gambaran, untuk mentransmisikan data dengan menggunakan satelit milik iridium, maka pengguna dikenai biaya 5 hingga 7 dollar AS per menitnya.
Namun sebenarnya hal itu bisa diatasi dengan membuat kotak hitam tidak secara terus menerus mentransmisikan data kotak hitam.
Kotak hitam bisa didesain untuk mengirim data-data penting penerbangan hanya jika dalam kondisi darurat, yang parameter-parameter kondisi darurat itu bisa diatur kemudian.
Saat ini, maskapai Qatar Airways telah berkomitmen untuk mengadopsi kotak hitam yang bisa ditransmisikan itu.
CEO Qatar Airways, Akbar Al Baker mengklaim maskapainya telah menguji coba sistem itu dalam pesawatnya.
“Begitu telah terbukti bisa digunakan dan bebas dari bug, maka kami berharap Qatar Airways menjadi maskapai pertama yang mengadopsi ini di dalam pesawat-pesawat kami,” demikian ujar Al Baker pada Januari lalu.
*Artikel ini sebelumnya dimuat di Kompas.com dengan judul “Kotak Hitam Pesawat Kok Belum Di-Streaming?” pada Selasa (7/4/2015).