AVIATREN.com -Â Tiba-tiba saja, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU), Marsekal TNI Agus Supriatna mengatakan bahwa TNI AU akan membeli tiga unit helikopter AgustaWestland tipe AW101 untuk dioperasikan sebagai helikopter angkut VVIP, termasuk Presiden RI.
AgustaWestland AW101 akan menjadi pengganti NAS-332 Super Puma yang dioperasikan sekarang.
Hal itu disampaikan KSAU di sela-sela acara Silaturahmi dan Makan Bersama Media Massa di Wisma Angkasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (24/11/2015).
Saat berita tersebut saya bagikan melalui media sosial Facebook, muncul banyak komentar yang sebagian besar mempertanyakan, atas dasar apa keputusan tersebut dibuat?
Pertanyaan itu memang beralasan, sebab tidak seperti proyek pengadaan pengganti F-5E Tiger yang juga dinilai sudah berumur oleh TNI AU, penggantian NAS-332 Super Puma milik Skadron 45 (dahulu menjadi satu dengan Skadron 17 VVIP) ini sama sekali tidak ada kabar berita sebelumnya.
KSAU hanya mengatakan pembelian tiga unit AW101 itu sudah tercantum dalam rencana strategis (Renstra) TNI Angkatan Udara periode 2015-2019 dan sudah melewati berbagai pertimbangan, yang sayangnya pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak dibeberkan.
Dahulu, sebelum memutuskan tipe helikopter apa yang akan dipakai untuk mengangkut Presiden, dibentuk tim yang jelas yang terdiri atas orang-orang yang mengurusi banyak aspek pertimbangan, mulai bisnis, pengoperasian, hingga teknis.
Untuk AgustaWestland AW101 ini, belum jelas seperti apa mekanismenya, apakah ada transfer teknologi seperti yang selalu disyaratkan untuk pengadaan alutsista, apakah ada tim yang mempelajari teknologinya lebih dulu dan apakah sesuai dengan persyaratan yang dibuat atau tidak?
Dari pernyataan-pernyataan KSAU di media, pembelian kali ini lebih seperti pilih dahulu, pelajari kemudian.
Berkaca kepada pemerintah AS yang juga telah berencana menggantikan helikopter kepresidenan “Marine One” pada awal tahun 2000-an, mereka menyiapkan tim khusus serta melibatkan industri lokal untuk pengadaanya.
AgustaWestland AW101 saat itu dipilih pemerintah AS sebagai pengganti Marine One sekarang. AW101 dimodifikasi dan dikembangkan bersamaan dengan Lockheed Martin dan Bell Helicopter asal AS, menjadi VH-71 Kestrel.
Namun pada akhirnya rencana tersebut harus berhenti di tengah jalan karena pada 2009 pihak parlemen AS menilai pengembangan AW101 menjadi VH-71 Kestrel butuh baya yang besar.
Belakangan, pemerintah AS menggandeng pabrikan Sikorsky untuk membuat Marine One yang baru bersama dengan Lockheed Martin, berbasis Sikorsky S-92. Marine One baru tersebut rencananya mulai dioperasikan pada 2020 mendatang.
Sebenarnya pengadaan AgustaWestland AW101 untuk Indonesia sama halnya dengan pengadaan-pengadaan alutsista TNI sebelum-sebelumnya. Yang menjadi istimewa kali ini alutsista tersebut juga berperan sebagai alat transportasi Presiden.
Di samping itu, saat ini sudah ada helikopter sejenis AW101 yang ternyata sudah dirakit di dalam negeri, yaitu EC725 Caracal (juga disebut Super Cougar) yang dirakit oleh PT Dirgantara Idonesia (PT DI) di bawah lisensi dari Airbus Helicopter.
Helikopter itu pun sudah dioperasikan oleh TNI AU, hanya peruntukannya yang berbeda, yaitu sebagai Combat SAR. Dengan demikian, kru yang terlatih baik dari pilot, mekanik hingga fasilitas pendukungnya sudah ada.
Tinggal dikonversi saja menjadi helikopter VVIP dengan persyaratan yang ditentukan, seperti kevlar penahan peluru, pengecoh misil, radar jamming, dan sebagainya.
Dengan demikian, pengadaan alutsista tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Dimana di Pasal 43 butir (1) disebutkan bahwa pengguna wajib mengunakan Alat Pertahanan dan Keamanan produksi dalam negeri.
Bukankah lebih baik jika TNI AU mengoperasikan helikopter yang sejenis, sehingga bisa menghemat anggaran pelatihan, suku cadang, dan fasilitas pendukung lainnya karena sudah ada.
Itulah sebagian besar kegaduhan yang terjadi di sosial media yang saya tangkap, seputar  pengadaan AgustaWestland AW101 sebagia helikopter kepresidenan RI.
Terlepas dari polemik tersebut, TNI AU sudah yakin dengan keputusannya untuk memboyong helikopter dengan julukan “Merlin” tadi sebagai heli angkut kepresidenan.
AW101 sebenarnya helikopter yang memiliki performa hampir setara dengan EC725, seperti dalam hal daya jelajah, kecepatan jelajah, dan endurance terbang.
Mereka bahkan sesumbar sebelum hari bhakti TNI AU tahun depan, yang jatuh pada 9 April 2016, helikopter tersebut sudah datang di Indonesia dan bisa dipamerkan ke masyarakat dengan dibawa terbang flypass, ajang dimana TNI biasanya mengatakannya sebagai bentuk pertanggungjawaban TNI kepada rakyat, karena alutsista-alutsista tersebut juga dibeli dengan uang rakyat.
Namun yang perlu diingat, bentuk pertanggungjawaban bukan hanya sekadar memamerkan di depan publik. Publik juga perlu tahu latar belakang mengapa alutsista itu bisa sampai dipilih dan digunakan.
Tugas TNI AU saat ini adalah meyakinkan masyarakat dan pengamat, bahwa pilihan mereka adalah tepat. Bukan sekadar mengatakan di media bahwa pemilihan AW101 sudah melewati kajian saja, namun TNI AU juga harus menjelaskan kajian seperti apa yang dimaksud, siapa saja yang mengaji, dan hasilnya seperti apa? Itulah bentuk pertanggungjawaban yang sebenarnya.
Tulisan ini bukan untuk membuat gaduh berita tentang helikopter kepresidenan, toh keputusannya sudah diambil oleh TNI AU.
Namun TNI AU juga harus membuka telinga dan mau mendengar, di luar sana banyak suara-suara sumbang yang mempertanyakan, alih-alih memaksimalkan potensi yang sudah ada, mengapa TNI AU justru memilih untuk menambah “gado-gado” alutsista yang dioperasikannya?
—
Tulisan ini telah dimuat di kompas.com dengan judul “Menyoal AgustaWestland AW101 Jadi Helikopter Kepresidenan RI”